Selasa, 23 Juni 2009

Artikel Kimia Analisis Baru

Titrasi tanpa kalibrasi

Peneliti di Amerika Serikat telah mengembangkan sebuah metode semi-otomatis dalam menghasilkan ion-ion untuk titrasi bebas-kalibrasi.

Erick Bakker di Purdue University, Indiana, dan rekan-rekannya telah menggunakan sebuah membran polimer selektif-ion (yang biasanya digunakan mendeteksi ion-ion) untuk menghasilkan ion. Para peneliti ini mengatakan bahwa pengaplikasian pulsa arus melintasi membran ini bisa menyebabkan terlepasnya ion dalam jumlah yang dapat ditentukan.

Ion-ion yang terlepas kemudian dideteksi melalui sebuah elektroda polimer yang serupa. Para peneliti ini menunjukkan bahwa sistem ini bisa digunakan untuk berbagai tipe titrasi elektrokimia dan mampu melakukan pendeteksian dengan batas deteksi nanomolar.

Mereka mengatakan bahwa dengan beberapa penyesuaian, metode ini bisa digunakan untuk melepaskan berbagai ion secara elektrolisis, dan bisa terbukti lebih praktis dibanding sistem penyaluran reagen yang ada sekarang. Khususnya, metode ini bisa menggantikan titrasi kimia tradisional, karena larutan baku tidak lagi diperlukan dan ukuran sampel yang kecil tidak akan jadi masalah, kata Bakker.

Menurut Bakker, sistem ini bisa digunakan untuk membuat sebuah miniatur piranti titrasi bebas kalibrasi. Metode ini digunakan dalam aplikasi kedokteran termasuk menghasilkan dan mendeteksi ion-ion logam seperti magnesium, dan protein nuklear manusia seperti heparin (yang penting untuk pembekuan darah).

Frank Davies, seorang spesialis dalam bidang bioeletkrokimia di Cranfield University mengatakan metode pelepasan ion bisa sangat bermanfaat dalam titrasi-titrasi elektrokimia. “Teknik ini bisa menjadi pilihan utama karena tidak memerlukan lagi kalibrasi,” kata Davies.

Tenaga surya membunuh bakteri dalam air

Ilmuwan telah mengembangkan teknik-teknik dekontaminasi air dengan tenaga surya dalam upaya untuk mengurangi penyebaran penyakit-penyakit asal air di negara-negara berkembang.

Disinfeksi air dengan tenaga surya merupakan sebuah cara yang sederhana untuk membunuh bakteri dalam air. Metode ini digunakan oleh rumahtangga-rumahtangga di negara-negara berkembang dimana ketersediaan air minum yang aman cukup langka. Mereka mengisi botol-botol plastik dengan air dan menjemurnya di bawah sinar matahari, dimana radiasi UV dan suhu air yang meningkat membunuh bakteri dalam enam jam. Tetapi metode ini memerlukan sinar matahari yang kuat dan volume air yang bisa disterilkan terbatas.

Sinar matahari digunakan untuk disinfeksi air dalam botol-botol plastik tetapi jumlah air yang bisa disterilkan terbatas.

Kevin McGuigan dari The Royal College of Surgeons di Irlandia, Dublin, dan rekan-rekannya menyelidiki disinfeksi air yang terkontaminasi Escherichia coli dengan menggunakan tenaga surya dalam reaktor-reaktor aliran volume besar. Sebuah pompa mensirkulasi air antara sebuah tangki penampung dan sebuah tabung kaca yang dikelilingi oleh penangkap sinar matahari yang memfokuskan energi matahari ke dalam tabung. Mereka menemukan bahwa penonaktifan E. coli tergantung pada total dosis sinar matahari bukan pada intensitas cahayanya. Mereka juga menunjukkan bahwa reaktor-reaktor ini bisa menjadi tidak efektif karena bakteri mendapatkan dosis radiasi yang tidak kontinyu ketika bakteri-bakteri tersebut mengalir antara tangki penampung yang tidak terkena cahaya dengan tabung yang terkena cahaya. Jika bakteri tidak dinonaktifkan secara sempurna oleh sinar matahari, maka keadaan tidak terkena cahaya akan memberi waktu bagi bakteri-bakteri ini untuk pulih dari kerusakan akibat radiasi, sehingga menjadikan mereka lebih resisten ketika disinari ulang.

“Bagi saya, signifikansi utama dari penelitian ini adalah bahwa metode-metode ini bisa menjadi efektif, tetapi penghitungan ulang aliran dalam reaktor disinfeksi surya harus dirancang dengan cermat untuk menghindari kemungkinan terbentuknya sub-populasi patogen resisten yang tetap bertahan akibat keterpaparan sinar matahari yang tidak lengkap,” kata McGuigan.

“Penelitian ini merupakan sebuah kontribusi penting yang menunjukkan kelebihan dan kekurangan potensial dari disinfeksi dengan sinar matahari, tergantung pada tipe reaktor cahaya surya dan cara operasi,” tanggap Cesar Pulgarin, seorang ahli di bidang proses dekontaminasi biologis di Swiss Federal Institute of Technology di Lausanne, Switzerland. “Ini juga merupakan upaya pertama untuk menilai dosis UV minimum yang diperlukan untuk penonaktifan bakteri secara sempurna dengan disinfeksi tenaga surya.”

WHO memperkirakan bahwa lebih dari satu milyar orang kekurangan akses terhadap air minum yang aman, yang menghasilkan jutaan kematian setiap tahun akibat penyakit-penyakit terkait air seperti diare. McGuigan mengatakan dia berencana memperkenalkan teknologi reaktor alir ini di negara-negara berkembang, dimana dia berharap ini bisa memberikan bantuan darurat bagi komunitas-komunitas yang dilanda kelaparan, banjir, dan peperangan.

Pendeteksian produk susu: memantau melamin dalam susu

Dua kelompok ahli spektroskopi massa terkemuka telah menerapkan keahlian mereka untuk memperbaiki pendeteksian melamin dalam susu.

Mereka merespon terhadap tuntutan akan teknik pendeteksian melamin yang sederhana, cepat dan murah setelah bahan kimia industri ini ditemukan terdapat dalam produk susu di Cina pada bulan September 2008. Bubuk susu yang tercemar disalahkan atas kematian empat bayi, sebagai penyebab penyakit yang mengenai puluhan ribu bayi.

Melamin, yang umum digunakan sebagai pencegah kebakaran material dan sebagai resin plastik, ditambahkan ke dalam susu selama pengolahan untuk meningkatkan kandungan proteinnya yang dinilai berdasarkan analisis kandungan nitrogen total.

Kedua teknik baru ini sama-sama memiliki kelebihan yakni sangat spesifik, akurat, sederhana dan cepat. Keduanya menggunakan ionisasi lingkungan − sampel-sampel diionisasi dalam lingkungan aslinya. Ini berarti teknik-teknik ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi alat pendeteksian yang mudah dibawa-bawa untuk digunakan dalam kontrol kualitas produk. Teknik kedua kelompok ini berbeda rincian ionisasi sampelnya.

Renato Zenobi, ETH Zurich, Switzerland, dan rekan-rekannya menggunakan ultrasound untuk merubah sampel susu cair yang dibubuhi melamin menjadi percikan halus (nebulise). Percikan ini kemudian diionisaisi dengan teknik EESI (ionisasi elektrospray ekstraktif) dan dianalisis dengan menggunakan spektrometri massa tandem. Metode ini memerlukan waktu 30 detik per sampel untuk pemrosesan sampel yang maksimal. Batas deteksi melamin terendah berada dalam rentang beberapa nanogram melamin per gram susu.

Zenobi berkomentar tentang teknik ini dengan mengatakan “nebulisator untuk penyaluran sampel EESI sangat sederhana dan cepat, disamping mempertahankan sensitifitas yang tinggi.”

Graham Cooks, Universitas Purdue, West Lafayette, US, dan rekan-rekannya menggunakan probe plasma suhu rendah untuk mengionisasi sampel dan, dengan menggunakan tipe spektrometri yang sama, mencapai kecepatan dan batas deteksi yang sebanding. Batas deteksi yang ditemukan oleh kedua kelompok ini berada di bawah batas minimum toksisitas melamin bagi manusia.

Cook mengatakan bahwa teknik yang ada sekarang untuk penentuan melamin cukup kompleks, “media banyak membahas skandal penyembunyian melamin dan melaporkan metodologi spektrometri massa-kromatografi cair triple quadropole untuk pendeteksiannya. Kami tertantang untuk menggunakan instrumentasi yang lebih sederhana dan membuat sebuah metode yang lebih cepat berdasarkan pada ionisasi lingkungan.”

David Muddiman, profesor spektrometri massa di North Carolina State University, Raleigh, US, menyebut teknik-teknik ini sebagai “contoh yang mengagumkan dari bagaimana metode-metode ionisasi analisis langsung yang inovatif, ketika dikombinasikan dengan spektrometri massa, memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer yang dihadapi dunia. Teknik-teknik ini telah mengatasi semua kendala-kendala utama sehingga memungkinkan spektrometri massa tidak hanya dapat berkompetisi, tetapi menjadi metode utama dalam tipe-tipe analisis ini.”

Jalur Cepat Pembuatan Bensin “Hijau”

Proses untuk mengubah serpihan kayu, limbah pertanian dan biomasa lainnya menjadi bahan bakar transportasi telah meyita perhatian para peneliti. Salah satu dari peneliti yang tertarik mengembangkan teknologi ini adalah insinyur kimia George W. Huber, yang timnya di University of Massachusetts, Amherst melaporkan suatu proses pirolisis katalitik selektif yang untuk pertama kalinya mampu mengubah secara langsung selulosa kedalam senyawa yang dapat dipakai untuk membuat bensin (ChemSusChem, DOI: 10.1002/cssc.200800018)

Masalah yang terbesar dari konversi biomasa adalah yang dinamakan “recalcitrance” dari tanaman, yaitu ketidakmampuan secara cepat dan ekonomis untuk mengubah secara langsung karbohidrat kompleks dari tanaman menjadi bahan kimia berguna dan bahan bakar. Para peneliti mencari beberapa pendekatan baik fisis, kimia dan biologis untuk mengatasi masalah recalcitrance ini, termasuk teknik pirolisis baru yang dikembangkan oleh Huber dan mahasiswa pascasarjananya Torren R. Carlson dan Tushar P. Vispute.

Pirolisis adalah sebuah metode baku yang melibatkan pemanasan material padat organik, termasuk limbah pertanian dan industri pada suhu tinggi dan kedap oksigen. Proses ini akan mendekomposisi material tersebut menjadi campuran hidrokarbon cair.

Para peneliti di UMass mengidentifikasi kondisi − kondisi reaksi yang diperlukan untuk mengontrol pirolisis dari serbuk selulosa dan karbohidrat berbasis biomasa lainnya yang dicampur dengan serbuk halus katalis zeolite ZSM5. Selulosa pertama-tama akan terdekomposisi menjadi bahan organik volatil teroksigenasi yang secara selanjutnya memasuki pori-pori zeolit dan secara selektif mengalami serangkaian reaksi dekabonilasi, dehirasi, oligomerisasi dan reaksi lainnya. Huber mengatakan, proses mereka memakan waktu kurang dari 2 menit pada suhu 600°C didalam reaktor yang didesain khusus yang dapat menghailkan senyawa-senyawa aromatis berupa naphthalene, ethylbenzene, toluene, dan benzene; produk samping termasuk arang, H2O, CO, dan CO2.

Namun proses ini masih memiliki beberapa batasan saat ini. Sebagai contoh, para peneliti masih memakai selulosa murni sebagai bahan awal pirolisis. Tambahan lain, regulasi di US metapkan jika campuran bensin harus mengandung senyawa aromatis lebih kecil dari 25% termasuk kurang dari 1% untuk bensen.

Huber mengatakan, kalau menggunakan bahan biomasa alami harusnya akan menghasilkan produk yang sama dengan memakai selulosa murni ketika proses ini nantinya telah dioptimalisasi. Dia juga menyadari bahwa batasan peraturan dari bensin terhadap kandungan senyawa aromatis akan membatasi pemakaian produknya. Namun dia menjelaskan produk aromatis ini dapat dicampur dengan senyawa alkana dan komponen lain untuk membuat bensin standar, atau senyawa aromatis dapat di hirogenasi untuk menghasilkan alkana. Jika kami menggabungkan langkah hidrogenasi didalam proses ini maka secara prinsip akan dapat mengahsilkan bensin yang standar, ungkap Huber.

Huber, bersama para mahasiswanya.

Metode pirolisis baru ini merupakan metode sederhana untuk mengolah biomasa dalam jumlah yang besar dengan waktu yang singkat, komentar John R. Regalbuto, direktur dari National Science Foundation, yang mensuport kegiatan Huber. Proses Huber ini yang mengubah secara langsung selulosa menjadi bensin aromatis merupakan teknologi terdepan saat ini yang telah mengubah paradigma terhadap pembuatan bensin alternatif terbarukan, kata Regalbuto lebih lanjut.

Pengukuran Tekanan dalam Ukuran Nano

Para peneliti di National Institute of Standards and Technology (NIST) telah mendemonstrasikan kemampuan mereka untuk mengukur tegangan tingkat rendah di permukaan seluas hanya 10 nanometer di permukaan semikonduktor.

Tegangan mekanis di semikonduktor dan peralatan lainnya disebabkan oleh atom di lapisan kristal yang ditekan atau diregangkan sehingga bergeser dari posisi semula, sebuah fenomena yang rumit walau tidak selalu berbahaya. Tekanan pada permukaan dasar dari dioda pemancar cahaya dan laser dapat mengubah warna yang dihasilkan dan mengurangi daya tahan peralatan. Di sisi lain, tekanan sengaja diberikan pada sirkuit mikro canggih karena apabila diaplikasikan secara benar, proses ini dapat meningkatkan kecepatan transistor tanpa menimbulkan perubahan pada rancangan peralatan. "Technology tekanan memampukan industri semikonduktor untuk meningkatkan kemampuan peralatan-peralatan melebihi dari apa yang diharapkan dari bahan-bahan yang tersedia saat ini," ujar fisikawan peneliti NIST, Robert Cook, "sehingga dapat menghindari masalah-masalah dalam hal teknis dan biaya yang berkaitan dengan menggunakan bahan yang berbeda."

Kedua tekanan yang baik dan buruk (bagi semikonduktor − red) perlu diukur jika keduanya hendak dikontrol oleh perancang peralatan. Dengan semakin kecilnya ukuran sirkuit mikro, pengukuran ini semakin sulit dilakukan − terutama karena dua metode pengukuran tekanan yang umum digunakan memberikan hasil yang berbeda. Metode pertama, electron back scattered diffraction (EBSD), mengukur tekanan dengan mengamati pola difraksi electron yang dipancarkan kembali oleh permukaan kristal. Metode kedua, confocal raman microscopy (CRM), mengukur perubahan frekuensi dari photon yang berinteraksi dengan ikatan atom dalam kristal − pergeseran yang perubahannya tergantung dari besarnya tekanan pada ikatan-ikatan atom. Kelompok dari NIST menggunakan kedua instrumen yang telah dimodifikasi dengan ketelitian yang lebih tinggi pada serangkaian pengukuran untuk mengatasi masalah perbedaan dalam hasil pengukuran.

Mereka menemukan bahwa masalah utamanya adalah kedalaman penetrasi dari kedua metode. Pancaran elektron hanya mengenai 20 atau 30 nanometer dari permukaan material, menurut Cook, sementara laser yang dihasilkan oleh photon dalam CRM dapat menembus sampai skala micrometer atau lebih. Para peneliti NIST menemukan bahwa dengan memvariasi panjang gelombang dari photon Raman dan memposisikan focus dari mikroskop, mereka dapat memilih kedalaman yang diukur oleh teknik Raman − dan ketika CRM diubahsuai untuk lapisan-lapisan teratas dari kristal, hasil pengukuran mendekati hasil pengukuran EBSD.

Instrument NIST juga menunjukkan potensi penggunaan kombinasi kedua metode untuk menciptakan pengukuran tekanan pada silicon dalam skala nano yang terpercaya yang memungkinkan pengembang peralatan untuk mengoptimasi penggunaan bahan dan proses. EBSD, walaupun terbatas pada tekanan di permukaan, dapat mengukur dengan resolusi sampai 10 nanometer. Resolusi CRM sekitar 10 kali lebih besar, akan tetapi metode ini dapat menghasilkan profil tekanan di permukaan yang lebih dalam.

Cara baru pendeteksian bahan peledak

Dalam upaya untuk ‘mencium’ bahan peledak berbahan dasar peroksida, seperti yang digunakan dalam pengeboman di London tahun 2005, para ilmuwan telah mengembangkan sebuah sensor yang efektif dan murah yang secara selektif mampu mendeteksi uap hidrogen peroksida (J. Am. Chem. Soc.). Selain dapat diaplikasikan dalam bidang kontra-terorisme, alat ini juga bisa digunakan untuk mendeteksi H2O2 pada industri dimana kontak dengan senyawa ini menjadi isu kesehatan yang serius.

Untuk membuat peledak berbahan peroksida dibutuhkan H2O2 sebagai bahan awal (precursor), sehingga bom peroksida biasanya masih mengandung bahan kimia diatas. Sensor peroksida dengan ukuran sebesar kotak korek api ini ditemukan oleh sebuah tim dari University of California, San Diego, dipimpin oleh William C. Trogler, Andrew C. Kummel, dan Ivan K. Schuller, dapat mendeteksi uap H2O2 dalam orde ppb (parts per billion). Menurut para peneliti, alat yang murah dan berukuran mini ini merupakan kemajuan baru dari standar pendeteksian H2O2 yang sekarang masih bergantung pada peralatan yang kompleks dan mahal.

RESISTOR KIMIA Metallophthalocyanines adalah komponen kunci dalam pendeteksian H2O2

Alat ini memakai lapisan tipis dari logam phthalocyanines sebagai komponen kunci pendeteksinya. Lapisan itu adalah berperan sebagai resistor kimia yang dapat diartikan konduktivitas bahan berubah-ubah tergantung dari paparan jenis bahan kimia. Menurut Trogler, "Untuk logam phthalocyanines, biasanya paparan oksidator akan meningkatkan arus". Namun dalam kondisi terdapat oksidan H2O2, logam phthalocyanines berperilaku berbeda-beda. Untuk kobal phthalocyanines, paparan H2O2 akan menurunkan arus, sedangkan untuk logam yang lain seperti tembaga atau nikel paparan senyawa ini akan meningkatkan arus. Sebuah sensor dengan gabungan beberapa filem dari logam yang berbeda dari phthalocyanines akan dapat menghasilkan suatu rangkaian sidik jari unik dari keberadaan H2O2.

Joseph Wang, seorang profesor dari Arizona State University, memberikan komentar bahwa hasil penelitian ini sangat elegan dan efektif untuk mendeteksi uap hidrogen peroksida. Dia menambahkan bahwa cara ini bisa dikembangkan untuk pendeteksian bahan yang lain dengan memyesuaikan logam yang ada di tengah senyawa phthalocyanines.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar